Bakajang, Tradisi Adat Gunuang Malintang

Ferizal: "Bakajang" Punya Nilai Budaya Tinggi bagi Pariwisata

Ferizal: Bakajang Punya Nilai Budaya Tinggi bagi Pariwisata
Wakil Bupati Ferizal Ridwan naik sampan saat penilaian kajang atau perahu di Batang Maek Nagari Gunuang Malintang.(humas 50 Kota)
Senin, 11 Juli 2016 21:53 WIB
Penulis: Tri Nanda
LIMAPULUH KOTA--Salah satu tradisi adat dan budaya rakyat "Bakajang" merupakan tradisi anak nagari yang sudah berlangsung secara temurun di Nagari Gunuangmalintang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru. Konon, tradisi adat ini berkembang dari cerita rakyat hingga terus dilestarikan hingga kini.

Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, ketika menghadiri prosesi kegiatan Bakajang dan Manjalang Mamak di Gunuangmalintang, Sabtu-Minggu (9-10/6) mengatakan, tradisi Bakajang mempunyai nilai budaya yang tinggi, sehingga berpotensi dikembangkan untuk pariwisata budaya. "Bakajang harus tetap dilestarikan dan diwariskan ke setiap generasi," sebutnya. 
 
Jika ditelisik dari perjalanan sejarah serta bahasa, kata Ferizal, Bakajang memiliki dua pengertian, yakni perahu dan pembaharuan. Perahu, katanya, merupakan alat transportasi nenek moyang warga Gunuangmalintang yang tinggal di pinggiran Batang Maek, pada zaman dulu. 
 
Sedangkan, pembaharuan, diartikan sebagai kegiatan memperbaharui silaturrahmi antara mamak dengan kemenakan serta anak nagari, yang digelar setiap awal bulan Syawal atau setelah Hari Raya Idul Fitri. Wabup Ferizal yang hadir bersama Kepala Dinas Pariwisata, Novian Burano dan Camat Pangkalan, Andriyasmen, tampak antusias mengikuti setiap prosesi Bakajang. 
 
Alek rakyat itu dihadiri oleh para niniak-mamak, alim ulama, cadiak-pandai, bundo-kanduang hingga pemuda parik paga nagari. Hari pertama pembukaan, dimulai dengan tradisi "Manjalang Mamak", yang diikuti seluruh pemuda beserta anak nagari ke empat istano penghulu di limbago adat nagari setempat. 
 
Mereka antara lain, Dt Paduko Rajo, Dt Sati, Dt Bandaro serta Dt Gindo Simarajo. Adapun terakhir, yang dikunjungi ialah kepala pemerintahan nagari dan alim-ulama. Dalam prosesinya, para pemuda anak nagari bersama bundo kanduang, membawa wejangan makanan yang dibawa menggunakan dulang. 
 
Di aliran Batang Maek, sebanyak lima buah perahu sudah disulap para pemuda di empat Jorong menjadi kapal berkuran besar. Kapal-kapal tersebut dirancang berbagai bentuk, menyerupai kapal veri. Guna merangkai kapal-kapal itu, para pemuda menyebut, menghabiskan biaya hingga mencapai Rp12-15 juta perunitnya.
 
Ketua KAN Gunuang Malintang, Dt Paduko Rajo, mengatakan, Bakajang merupakan salah satu tradisi silaturrahmi yang dilakukan masyarakat Gunuangmalintang menggunakan perahu/sampan hias. Alek ini biasanya dilakukan setelah hari raya Idul Fitri, dengan tujuan meningkatkan silaturrahmi diantara anak kemenakan 4 suku di Batang Mahat.
 
Acara alek Bakajang, merupakan warisan nenek moyang yang terus digalakkan masyarakat hingga sekarang. "Bakajang berarti 'memperbaharui'. Dulu, pelaksanaan manjalang sanak saudaro ini, dilakukan memakai sampan atau perahu. Ini lah yang dilakukan para pendahulu, yang kini masih menjadi tradisi di nagari kami," paparnya. 
 
Adapun Batang Maek yang melintasi Nagari Gunuangmalintang, lanjutnya, pada zaman dahulu merupakan salah satu akses alternatif yang digunakan masyarakat, mengingat pada waktu itu belum ada akses jalan sebagai jalur penghubung antara satu daerah ke daerah lain. "Biasanya, alek Bakajang digelar 5 hari, dimulai hari ke-4 Bulan Syawal," tutur Dt Paduko Rajo.***

Editor:M.Siebert
Kategori:Ragam
wwwwwwhttps://green.radenintan.ac.id/max/https://bkpsdm.tanahlautkab.go.id/galaxy/https://143.198.234.52/sonic77https://159.223.193.153/